Profil
Sabtu, 31 Desember 2016
Selasa, 15 November 2016
Selalu Menjadi Ramadhan Yang Indah
Mungkin apa yang kurasakan saat Ramadhan
tiba itu klise dan pasaran, tapi aku memang selalu bahagia saat bulan penuh
Barokah ini tiba. Setiap Ramadhan aku selalu membuat kegiatan Pesantren Kilat
atau Sanlat untuk anak-anak yang tinggal di lingkungan rumah. Modalnya Cuma
kuat dengan emosi anak yang naik turun karena lagi puasa dan sebuah mushola
kecil peninggalan kakek. Tak kusangka jika antusias anak begitu besar hingga
membuat mushola kecil milik keluarga terasa sesak dengan riuhan canda tawa dan
suara menghafal anak-anak.
Aku dan suami membaginya dalam dua kelas.
Dari kelas tiga SD sampai SMA dia yang pegang, nah dari kelas tiga SD ke bawah
aku yang pegang. Sengaja aku ambil anak-anak yang paling kecil karena aku tahu,
jika laki-laki takkan sesabar wanita saat mengajari anak yang rewelnya kambuh
saat mengaji. Meski kadang emosi dan tenaga terkuras, namun ada sebongkah
kebahagiaan yang mendekap kami berdua dengan eratnya. Selalu ada cerita menarik
yang kami bagi setelah selesai mengajar. Inilah barokah bulan Ramadhan.
Kebahagiaan itu datang bukan dari hal yang besar apalagi mewah. Tapi
kebahagiaan itu justru datang saat melihat anak bisa belajar abatasa dan pulang
dengan wajah kebanggaan untuk dipamerkan pada orang tuanya.
Alhamdulillah ada sekitar 40 anak yang
kami ajar Ramadhan ini. Rencananya berakhir di tanggal 25 ramadhan. Ada banyak
hal yang kami jadikan bahan ajaran, seperti Fiqih, Tauhid, Tajwid Al-Qur’an,
Bahasa Arab dan BTQ. Kelas yang di pegang suami masuk jam 7.30 dan berakhir jam
11.00 WIB. Sedangkan kelas ku hanya berakhir di jam 10 untuk anak SD, dan jam 9
untuk anak usia TK dan PAUD. Sengaja di bedakan karena memang jam mood nya anak
berbeda sesuai usia mereka. Anak TK dan PAUD biasanya lebih mudah bosan,
apalagi harus mengantri mengaji dengan hanya satu guru. Biasanya aku
mendahulukan menulis. Siapa yang sudah selesai menulis, mereka baru boleh
ngantri mengaji.
Beberapa anak SMP malah ingin ada acara
tadarusan khusus mereka sendiri setelah Ashar. Baiklah, aku tak pernah mampu
menolak keinginan yang mulia seperti itu. anak lain pun sebenarnya ingin
ikutan, namun bukan karena tak di izinkan anak SMP, melainkan mereka harus
tadarus di Masjid Jami’.
“ ngaji dimanapun sama saja. Gak ada
bedanya. Yang penting jangan buang waktu barokah dengan main saja.” Ucapku saat
melihat wajah penuh sesal karena tak bisa ikutan tadarus bersamaku.
Bukannya aku dan suami tak ingin berbagi
kebahagiaan dengan orang lain sehingga tak mencari guru lain untuk membantu.
Namun, karena masalah dana dan kecocokan murid yang tak bisa di ganggu gugat.
Mushola kami berdiri sendiri dengan dana keluarga. Kecil, tapi semoga saja
bermanfaat. Amiin. Kami tak ingin membebani warga yang sudah harus patung
sana-sini untuk masjid dan urusan sekolah. Kami memang tak formal atau
istilahnya kami ini ilegal. Hanya mendapat persetujuan ketua RT dan RW saja
tanpa nomor registrasi dan pengakuan pemerintah. Tapi kami senang dengan
antusias anak-anak. Mereka belajar dengan rajin dan sungguh-sungguh. Jadi, kami
tidak punya anggaran untuk menggaji guru lain. Dan untuk masalah kecocokan, ini
memang jadi sedikit masalah.
Aku sempat meminta tolong pada tetangga
saat aku melahirkan, dan hasilnya semua anak minder dan ketakutan. Mungkin
karena watak aku dan tetangga berbeda. Sejak saat itu aku tak lagi berani
meminta bantuannya karena aduan anak-anak yang membuat telingaku merah. Aku pun
sempat meminta ponakan agar membantuku mengajar karena anak-anak terlalu banyak
dan suasana yang mulai tidak terkendali akibat cuaca dan suhu udara di ruangan
yang terlalu sempit dan sumpek. Lagi-lagi mereka ketakutan dan lebih memilih
diam menungguku dengan sabar di antrian yang panjang untuk mengaji. Aku hanya
bisa tertawa kecil saat melihat tingkah mereka semua. Berteriak ingin ngaji
duluan dan protes dengan udara panas di ruangan, namun setelah aku minta
bantuan ponakan mereka malah mojok dan bilang mau ngantri saja. Aku tahu,
ponakanku pasti sangat sebal dengan jawaban anak-anak saat itu. Ah, dasar
anak-anak. Tingkah mereka selalu saja membuatku ingin tertawa sendiri.
Malah ada anak yang sudah menjadikanku
ibu keduanya. Mau pipis aku yang pipisin, mau benerin kerudung aku yang
benerin, aku lagi merhatiin anak lain ngaji dia malah peluk-peluk dari belakang
sambil curhat ini-itu. semuanya indah untuk di kenang. Ini adalah Ramadhan
kelima kami melakukan kegiatan ini. Juga menjadi Sanlat terlama karena waktu
libur anak yang lumayan lama. Plus menjadi Ramadhan kelima aku bersama suami
dan Ramadhan ketiga bersama si kecil yang paling menggemaskan, Miqdad Syafiq
Aljauhari Munawar.
Aku berdo’a pada Allah, semoga ada
Ramadhan selanjutnya bagi kami untuk berbagi ilmu pada anak-anak. Dan semoga
Ramadhan yang akan datang menjadi Ramadhan yang makin penuh barokah untuk kami
semua. Ramadhan yang selalu indah dan semakin indah untuk di rindukan dan
selalu paling sulit untuk berpisah. Semoga Allah memberikan barokah Ramadhan,
barokah Umur dan Rizki untuk keluarga kecil kami. Amiin.
Ini
foto-foto kegiatan kami Ramadhan tahun 2015.
Cerita
ini pernah diikut sertakan dalam lomba yang diselenggarakan oleh
penerbit Emir Books dan pernah di publikasikan di website penerbit Emir
Books .
Langganan:
Postingan (Atom)